Komentar Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996
KOMENTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996
TENTANG HAK TANGGUNGAN
Oleh
Hakim Bastary
(Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Palembang)
Urgensi
Pemberlakuan Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1996 (LNRI-Tahun 1996 Nomor 42) tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah sejak undang-undang ini diundangkan, yaitu tanggal 9 April 1996, yang mengatur khusus mengenai hak atas tanah secara lebih luas, yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai atas tanah Negara, yang menurut ketentuan kesemua hak itu harus didaftarkan dan dapat dipindahkan kepemilikannya serta dapat dibebani Hak Tanggungan.
Meskipun diberlakukannya undang-undang tersebut relatif lama, akan tetapi karena ada relevansinya dengan kewenangan baru dari peradilan agama, yaitu Ekonomi Syariah, maka pembicaraan/pembahasan terhadap undang-undang tersebut masih saja diperlukan.
Beberapa Komentar
- Pasal 1 angka 1:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan. . . . . . . . .”.
Bahwa kata-kata “Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, sebagaimana di atas, tidaklah mempengaruhi (tidaklah menghilangkan) ciri dari sistem pertanahan di Indonesia yang didasarkan kepada hukum adat, yaitu pemisahan harisontal (harizontaal afscheiding), bukan pemisahan vertikal (verticaal afscheiding), di mana setiap person dapat memiliki tanah saja atau bangunan/tanam tumbuh di atasnya saja, atau dapat memiliki keduanya (tanah dan benda di atasnya).
- Pasal 3 ayat (1):
“Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat. . . . . . . ”.
Bahwa yang perlu diperhatikan kembali ketentuan pada Pasal 3 ayat 1 di atas adalah terdapat 3 jenis utang yang dapat dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, yaitu:
- Utang yang telah ada pada saat pengikatan Hak Tanggungan dilakukan.
- Utang yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu.
- Utang yang jumlahnya ditentukan pada saat diajukannya permohonan eksekusi berdasarkan perjanjian utang-piutang dan perjanjian lain yang akan menimbulkan hubungan utang-piutang.
- Pasal 6:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Bahwa penjualan Hak Tanggungan berdasarkan janji untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 6 tersebut adalah bukan sebagai tindakan eksekusi, demikian pula dengan penjualan objek Hak Tanggungan yang dilakukan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan yang dilaksanakan di bawah tangan, tidaklah termasuk sebagai bentuk eksekusi, melaikan hanya sebagai suatu cara untuk dapat memperoleh tagihan piutang dengan cepat. Hak kreditor untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu adalah merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diuatamakan (preferent) yang dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan (pertama).
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum ke-9 dari UUHT disebutkan: “Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cedera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam undang-undang ini yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagimana dimaksud dalam Pasal 254 HIR/Pasal 258 R.Bg”.
Jika ditelaah lebih lanjut Penjelasan Umum ke-9 tersebut adalah bertentangan dengan Penjelasan Pasal 6 UUHT, yang menyatakan: “Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama. . . . . . . .”
Logika hukumnya adalah, apalah artinya dengan “kekuasaan sendiri” jika tidak dapat dilakukan secara sendiri. Penjelasan Umum ke-9 juga bertentangan dengan penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUHT, di mana menurut Penjelasan Umum ke-9 tersebut, UUHT telah memasukkan secara khusus, yaitu lembaga parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 R.Bg/Pasal 224 HIR, padahal parate eksekusi sama sekali tidak berhubungan dengan atau berbeda dengan maksud dari ketentuan tersebut (Pasal 258 R.Bg/Pasal 224 HIR), yang mengatur tentang eksekusi grosse akta [Vide Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT], bukan mengatur parate eksekusi.
- Pasal 11 ayat (2) huruf e:
“Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji”.
Bahwa pemegang Hak Tanggungan (kreditor) mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri bukanlah merupakan tindakan eksekusi, melainkan sebagai upaya untuk dapat menagih piutang agar cepat dibayar sebagaimana urain pada Pasal 6 diatas, yaitu berhak untuk pertama apabila ada pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya.
- Pasal 11 ayat (2) huruf j:
“Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan”.
Bahwa jika ada janji untuk mengosongkan objek dimaksud pada waktu eksekusi [Pasal 11 ayat (2) huruf j], ternyata tidak dilakukan dan debitor lalai, maka pengosongan tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan. Pengosongan secara paksa hanya dapat dilakukan/diperintahkan dengan pimpinan ketua pengadilan berdasarkan Pasal 218 ayat (2) R.Bg/Pasal 200 ayat (11) HIR jika eksekusinya dilakukan oleh pengadilan karena bukan lelang eksekusi, melaikan lelang sukarela (Hasil Rapat Kamar Pedata MA-RI Tanggal 14-16 Maret 2019). Namun pada Rapat Kamar Perdata berikutnya, hal tersebut dianulir, artinya dapat dilakukan oleh pengadian.
- Pasal 20 ayat (1):
“Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: a. hak pemegang hak Hak Tanggungan pertama untuk menjual. b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana yang maksud dalam Pasal 14 ayat (2) objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lain”.
Bahwa dalam hal eksekusi, terdapat 2 jenis yaitu:
- Dilakukan dan di bawah perintah/pimpinan ketua pengadilan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan yang ada irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Eksekusi Hak Tanggungan melalui pengadilan pada dasarnya adalah merupakan eksekusi yang berakhir dengan pembayaran sejumlah uang, yang bersumber dari adanya suatu perjanjian karena terjadinya cedera janji (wanprestasi) berdasarkan Pasal 1243 dan Pasal 1246 KUH Perdata atau karena adanya perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.
Prosedurnya dengan melalui tahapan-tahapan:
- Permohonan Aanmaning.
- Penelitian Berkas.
- Sidang Aanmaning.
- Sita Eksekusi
- Lelang Eksekusi.
- Pengosongan
Selanjutnya yang masih meninggalkan persoalan, apakah dalam hal ini masih diperlukan sita eksekusi sebagaimana pada eksekusi pembayaran sejumlah uang, dan ini masih diperdebatkan.
Penulis berpendapat, Hak Tanggungan adalah sebagai hak yang telah diikat dengan suatu perjanjian di mana kreditor berhak untuk menjual dengan kekuasan sendiri yang dalam Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat langsung dilaksanakan eksekusi lelang.
Masalah yang sering timbul adalah apa yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan jika dihadapkan dengan satu kenyataan bahwa objek yang dijaminkan kepadanya disita untuk dan atas kepentingan kreditor lain. Dalam hal ini biasanya pemegang Hak Tanggungan mengajukan perlawanan terhadap sita eksekusi tersebut. Padahal itu tidak perlu dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan karena perlawanan pihak ketiga (derden verzet) tersebut hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga atas dasar hak kepemilikan (beweerde eigendom), sedangkan pemegang Hak Tanggungan bukanlah sebagai pemilik karena yang dimilikinya adalah untuk minta perlunasan utang atas tanah yang dijaminkan kepadaya dengan cara melakukan penjulan di muka umum. Perolehan dari penjualan lelang Hak Tanggungan tersebut dibayarkan terlebih dahulu kepada pemegang Hak Tanggungan, sisanya untuk kreditor konkuren lainnya (kalau ada) dalam hal eksekusi lelang dilakukan pada saat bersamaan.
- Dilakukan oleh PUPN/BUPLN yang berdasarkan surat pernyataan bersama atau berdasarkan surat paksa yang keduanya juga memakai irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, setelah terlebih dahalu pemberi Hak Tanggungan (debitor) diberi surat peringatan untuk melaksanakan kewajibannya.
Bahwa meskipun maksud dari Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tersebut adalah untuk memberi jaminan yang kuat dalam pengikatan utang- piutang/kredit, namun pengadilan tidak serta merta dapat melakukan eksekusi secara langsung karena ketentuan Pasal 11 ayat (2) nya terdapat 11 janji yang dapat dicantumkan pada akte pemberian Hak Tanggungan dimana masing-masing mempunyai karakter sendiri-sendiri. Oleh karena itu ketua/hakim harus mencermatinya.
- Pasal 20 ayat (5):
“Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan”.
Bahwa terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (5) di atas di mana dalam hal pelelangan dilakukan, tetapi pengumuman lelang telah dilakukan beberapa kali dalam media cetak yang justru telah mengeluarkan biaya, sesuai Pasal 217 ayat
(2) R.Bg/Pasal 200 ayat (2) HIR.
Timbul pertanyaan, apakah pemberian Hak Tanggungan tidak dapat lagi mencegah/membatalkan terjadinya pelelangan dan jika tidak dapat lagi, maka berarti tidak ada toleransi kepada pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal ini berbeda dengan eksekusi hipotik, di mana hakim dapat melakukan pencegahan terjadinya pelelangan yang dipaksakan (merugikan) pemberi Hak Tanggungan.
Penutup
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 terdapat 31 pasal dan 67 ayat, sedangkan yang sempat ditampilkan hanya 5 pasal saja (antara lain) yang terkait dengan tugas peradilan agama, namun pemahaman secara keseluruhan terhadap undang-undang tersebut adalah akan lebih baik.