Kemuliaan Hakim, Antara Realita dan Harapan
KEMULIAAN HAKIM, ANTARA REALITA DAN HARAPAN
Oleh
Drs. H. M. Lukmanul Hakim Bastary, S.H., M.H.
(Purnabakti Hakim Tinggi Pengadilan TinggiAgama Palembang)
Lencana Hakim yang selalu disematkan di dada kiri pada bajunya adalah lambang dalam bentuk: kartika (takwa), cakra (adil), candra (bijaksana), sari (berbudi luhur) dan tirta (jujur), sebagai cerminan dari perilaku Hakim yang harus direalisasikan dan diimplementasikan dalam kedinasan dan di luar kedinasan. Untuk menjaga kehormatan, kemuliaan dan keluhuran akan martabatnya itulah, MA-RI dan KY-RI telah merumuskan dan megeluarkan Keputusan Bersama tertanggal 8 April 2009, Nomor: 047/KMA/SK/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/PKY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kode Etik tersebut merujuk pada Kode Etik Hakim sedunia “The Bangalore Principles of Yudicial Conduct 2002” yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip Hakim dalam hal: independensi, integritas, imparsial serta kepantasan dan kesopanan. Itulah sebabnya di ruang persidangan sang Hakim dipanggil yang mulia.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim juga wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadian yang hidup dalam masyarakat [Pasal 19 dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman]. Oleh karena itu, sub unsur yang ada di diri manusia (Hakim), yaitu rasa, cipta, dan karsa, sangatlah relevan dengan tugas Hakim, yaitu konstatir, kualifisir, dan konstituir perkara yang sedang ditanganinya.
Pada saat konstatir, Hakim harus menyatakan benar atau tidaknya terjadi peristiwa kongkrit berdasarkan dalil dan bukti dari para pihak. Di sini Hakim tidak saja harus piawai dalam pembuktian, tetapi juga akan menggunakan rasa nya, siapa yang benar dan siapa yang salah. Kemudian Hakim akan berfikir bagaimana (ketentuan) hukumnya atau melakukan kualifisir akan peristiwa yang telah terbukti tadi, dan ini artinya unsur cipta (akal) Hakim yang berperan, sehingga dalam tahap ini munculah beberapa aliran dalam penemuan hukum antara lain, legisme, mazhab histories dan begriffsjurisprudenz.
Setelah Hakim melakukan konstatir dan kualifisir, maka atas pristiwa yang terjadi, Hakim menggunakan karsa (kehendak), untuk menjatuhkan putusan, yaitu melakukan konstituir. Dalam hal ini Hakim dituntut akan kejujuran, keadilan, dan harus secara proforsional mempertimbangkan aspek-aspek sebagai tujuan hukum, yaitu kepastian hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban secara yuridis, keadilan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara filosofis dan kemanfaatan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara sosiologis. Disinilah berfungsinya unsur karsa (kehendak). Ketiga unsur tersebut dapat disebut juga sebagai dengan kalbu dan jika positif, maka akan mengasilkan peradaban, tetapi jika kalbu nya negatif, maka akan menghasilkan kebiadaban2.
Itulah integritas diri Hakim yang sesungguhnya, yaitu sifat yang menunjukkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi teguh dengan prinsip, tidak KKN, menjaga nilai-nilai moral dan berwibawa, sebagaimana dilambangkan dalam lencana Hakim. Hal ini sangat relevan dengan Pidato Ketua MA-RI, Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H: “Bagi MA, makna sederhana dari integritas adalah mutu, sifat yang berpotensi memancarkan kewibawaan dan kejujuran ini juga tercermin dari kualitas putusan badan atau lembaga peradilan. Jika setiap aparatur peradilan melakukan fungsinya masing- masing, kepercayaan publik dapat konsisten dijaga. Inilah tugas paling berat”.
Terlepas dari tentang bagaimana rekrutmen Hakim sebagai “Wakil Tuhan” di mana harus rela memasuki dalam dunia sunyi (silent corp), sehingga banyak waktu untuk berkomunikasi dengan hati nuraninya, atau telah mengambil jalan untuk memisahkan diri dari pergaulan yang biasa dijalani kebanyakan manusia. Namun dalam faktanya, hingga kini rekrutmen Hakim masih hampir sama dengan atau masih mengunakan sistem sebagaimana yang berlaku pada seleksi CPNS, karena aturan Hakim sebagai pejabat negara belumlah seperti yang sesungguhnya, padahal idealnya rekrutmennya haruslah ketat, bahkan melebihi dari rekrutmen pimpinan / komisioner institusi penegak hukum lainnya.
Sebagaimana yang kini berlaku, di Indonesia menerapkan sistem pengadilan yang berklasifikasi, yaitu Kelas I-A (Khusus), Kelas I-A, Kelas I-B dan Kelas II. Penentuannya berdasarkan tempat kedudukan dan jumlah volume perkara yang diterima, sedangkan untuk sepuluh tahun terakhir ini jumlah Hakim rasionya jauh dari mencukupi alias kurang. Padahal tuntutan penegakkan hukum harus yang terbaik, dengan penyelesaian perkara yang dibatasi, yaitu lima bulan termasuk penyelesaian minutasi untuk pengadilan tingkat pertama, dan tiga bulan termasuk penyelesaian minutasi untuk pengadilan tingkat banding, dengan pengecualian bagi perkara-perkara karena sifat dan keadaan perkara tertentu [SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014, tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan]. Bahkan ada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding yang mengambil kebijakan untuk lebih mempercepat penyelesaian perkara 3 lebih awal dari sebagaimana diatur dalam SEMA tersebut, belum lagi tuntutan untuk “one day minute dan one day publish”, yang kesemuannya menjadi tugas Hakim.
Ironisnya dalam permusyawaratan majelis Hakim, terkadang ada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding yang tidak mengikut sertakan panitera sidang, bahkan putusan pun di ketik sendiri oleh ketua majelis yang bersangkutan, dengan dalih guna menjaga kerahasiaan dari putusan yang belum diucapkan. Belum lagi adanya keterlambatan penyampaian isi putusan kepada para pihak, sementara pada SIPP telah muncul (rawan disalahgunakan oleh oknum). Hal ini mengindikasikan adanya ketidak percayaan dengan panitera siding. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pimpinan, untuk mengatur bagaimana menumbuhkan kepercayaan terhadap panitera sidang. Di sinilah perlunya pembinaan etika kerja di dunia peradilan. Beratnya tugas Hakim ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi riil yang ada dan hampir terdapat pada setiap pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding, yaitu:
- Kurangnya tenaga Hakim di mana yang tadinya sebagai Hakim Ketua, tetapi pada majelis lain sebagai Hakim Anggota. Hal ini berdampak pada konsentrasi Hakim Ketua yang hanya fokus pada perkaranya saja, yang berakibat tela’ah / perhatian terhadap perkara lain (sebagai Hakim Angggota) tidaklah maksimal;
- Tidak sedikit dari Hakim yang menyelesaikan putusan melewati jam kerja, hingga larut malam, baik dikerjakan di kantor maupun di rumahnya, bahkan ada yang hingga jatuh sakit dan meninggal dunia;
- Tidak setaranya penghasilan Hakim dengan tugas dan tanggung jawabnya, termasuk fasilitas penunjang kesehatan yang masih sama dengan PNS lainnya dan keamanan, serta gaji yang diperoleh Hakim sama dengan gaji yang diperoleh oleh PNS lainnya. Belum lagi penyamarataan penghasilan antara Hakim yang bertugas di pengadilan yang perkaranya ratusan pertahun dengan hakim yang bertugas di pengadilan yang perkaranya ribuan pertahun. Bahkan ada pengadilan tingkat pertama yang jumlah perkaranya ribuan untuk perbulan. Kalaupun ada perbedaan, tetapi perbedaannya sedikit sekali (tunjangan jabatan), sedangkan untuk Hakim pengadilan tingkat banding semua sama, padahal jumlah perkara berbeda jauh.
Upaya untuk mensejahterakan secara lahir batin bagi Hakim telah banyak dilakukan Pemerintah dan MA serta berhasil, namun karena fenomena mobilitas sosial yang semakin cepat disertai dengan intraksi sosial yang dinamis, mengakibatkan munculnya masalah-masalah hukum yang baru yang terkadang yang mendahului dari regulasinya. Untuk itu diperlukan pemikiran tentang:
- Pembagian beban kerja Hakim yang harus adil dan proforsional karena masih ada pimpinan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding yang jarang bersidang, kalaupun bersidang hanya terbatas pada perkara-perkara biasa saja;
- Perlunya daftar hadir bagi Hakim secara tersendiri selain dari daftar hadir yang telah ditetapkan dengan cukup canggih, seperti yang telah ada. Apalagi (maaf) mesin daftar hadir tersebut masih dapat diakali karena otak manusia lebih canggih dari sekedar mesin sebagai perangkat lunak ciptaan manusia. Bagi Hakim yang bekerja lembur di kantor atau di rumah, bahkan pada hari libur sekalipun masih bekerja, hendaknya disediakan aplikasi daftar hadir yang benar-benar dapat mengakomodir kelemburan Hakim tersebut, sehingga benar-benar mencerminkan keadilan, bukan hanya memperhatikan waktu kerja (jam masuk - pulang kantor saja), tentunya dengan tidak mengenyampingkan berbagai aplikasi yang telah menyediakan sebagian dari datanya, yaitu data beban tugas Hakim dalam menyelesaikan tugas pokoknya;
- Perlunya pengaturan besaran penghasilan Hakim berdasarkan beban kerja, bukan hanya mendasarkan pada kelas pengadilan semata atau pangkat, termasuk memperhatikan pula mutasi dan promosi dengan mengutamakan integritas, kualitas, dan senioritas. Untuk mewujudkan cita-cita peradilan yang agung perlu adanya kesadaran bersama untuk mengelolanya. Tidak hanya dekonstruksi hukum akan pengelolaan managemen kekuasaan kehakiman, tetapi juga harus didukung oleh gerakan bersama baik dari MA sendiri, Pemerintah maupun Pimpinan, Hakim, seluruh Aparatur pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding serta masyarakat secara berkolaborasi dan berkesinambungan.
- Perlu segera diundangkannya RUU tentang Jabatan Hakim dengan merujuk kepada Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, tidak dijadikan komoditas politik