Sejarah Pengadilan Tinggi Agama Palembang
I. Zaman Kolonial Belanda
Bagi Kota Palembang sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Selatan, dimana sudah sejak dulu adanya semua kekuasaan mengadili perkara perdata bagi umat Islam, yaitu di zamannya Kesultanan Palembang yang disebut dengan istilah NATA GAMA sebagaimana yang ditulis oleh DE ROO DE LA FAILLE seorang anggota RAAD VAN INDIE dalam bukunya DARI KESULTANAN PALEMBANG, pimpinannya berada di tangan Hakim Syar’iyah yang memeriksa dan memutuskan perkara atas nama SULTAN.
PANGERAN PENGHULU bertindak pula selaku Penasehat Syar’iyah (hukum Islam) dan juru sumpah di LANDRAAD (Pengadilan Negeri ) dengan mempunyai hak penuh bersuara dalam memberikan pertimbangan secara hukum Islam bila diperlukan. Tugas-tugas PANGERAN PENGHULU sebagai berikut :
- Urusan N.T.R. Waris, Wakaf Umum, pengajaran agama Islam;
- Menetapkan awal Ramadhon dan Syawwal ( dengan membunyikan meriam) sebagai tanda akan dimulainya puasa atau hari hari raya;
- Mengangkat PENGHULU-PENGHULU, Khatib dan sekaligus dengan bisluitnya;
- Menerima laporan dari PENGHULU-PENGHULU yang dalam wilayahnya yang menyangkut masalah zakat, fitrah, kelahiran dan kematian : juga terhadap lelaki dan perempuan yang lari untuk kawin (kawin lari) yang mendapat perlindungan dengan sepenuhnya ; sedang untuk putusan PANGERAN PENGHULU tersebut tidak ada tempat untuk dimintakan banding.
Keadaan demikian cukup lama berlangsung serta berpengaruh besar terhadap perkembangan agama Islam di kota Palembang dan sekitarnya. Tetapi setelah mulai masuknya kekuasaan Belanda di Palembang, maka kedudukan Hakim Syar’y setelah diperkecil dan dibatasi kekuasaannya, lalu dirobah menjadi kekuasaan PANGERAN PENGHULU,
Kekuasaan PANGERAN PENGHULU inipun berangsur ditekan lagi dan kemudian setelah kekuasaan Belanda di Palembang lebih lama berjalan, dimana pada umumnya di Palembang dan sekitarnya secara berangsur mulai dipengaruhi oleh hukum Belanda, yang banyak mengambil dari CODE NAPOLEON, sehingga keadaan ini memaksa untuk menghilangkan PANGERAN PENGHULU, dan sebagai gantinya dibentuklah dengan suatu RAAD yang disebut RAAD AGAMA yang diketuai oleh HOOFD PENGHULU yang berada dibawah lingkungan kekuasaan LANDRAAD. Hoofd Penghulu yang mengetuai RAAD AGAMA disamping tugas pokoknya, juga masih bertindak sebagai penasehat Syar’y dan juru sumpah di LANDRAAD.
Kemudian mulailah diberlakukan hukum adat di RAAD AGAMA dengan SIMBUR CAHYA sebagai kitab hukumnya, dan selanjutnya hak untuk mengangkat HOOFD PENGHULU, ANGGOTA RAAD AGAMA berada pada Pemerintah Hindia Belanda, sedang wewenangnya agak dipersempit lagi menjadi hanya :
- Mengurus N.T.R, menetapkan pembagian waris ;
- Menetapkan Awwal Ramadhon dan Syawwal.
Oleh karena dimasa itu adanya RAAD AGAMA berikut HOOFD PENGHULU disandarkan kepada berbagai peraturan dan Undang-undang yang pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah setempat, sedang Pemerintah setempat itu adalah ROOFD VANHET GEWSTELIJKE BESSTUUR atau Pemerintahan Swapraja dan Adat, maka tugas-tugas yang tadinya menjadi kekuasaan HOOFD PENGHULU seperti pengangkatan PENGHULU-PENGHULU, Khotib-khotib di daerah dan Guru-guru Agama, semuanya bukan lagi hak HOOFD PENGHULU, melainkan hanya dari HOOFD VANHET GEWESTELIJKE BESTUUR ( Kepala Pemerintahan Swapraja dan Adat ). HOOFD PENGHULU hanya diminta pertimbangannya saja, sehingga keadaan ini agak menyulitkan ummat Islam Palembang pada khususnya, dimana peraturan yang ada dimasa itu digunakan untuk kepentingan penjajahan, yang sudah banyak menyimpang dari hukum Islam.
Setelah beberapa tahun Pengadilan Agama Propinsi di Palembang mengalami masa pembekuan, maka Pemerintah Indonesia waktu itu merasa perlu membentuk dengan segera Pengadilan Agama untuk daerah diluar Jawa-Madura, dengan mengeluarkan suatu peraturan yang sangat memberi arti penting akan eksistensinya kelak, mengingat Undang-undang Dasar Sementara pasal 98 dan Undang-undang darurat No. 1 tahun 1951 pasal 1 (4).
Sebagai realisasinya, maka pada tanggal 9 Oktober 1957 diundangkanlah PP. No. 45 Tahun 1957 ( LN.1957-99) tertanggal 5 Oktober 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa – Madura.
II. Zaman Pendudukan Jepang
Setelah kekuasaan Belanda lenyap dan berganti dengan zaman Jepang, kesempatan ini dipergunakan oleh umat Islam termasuk di Sumatera Selatan untuk membentuk kembali Mahkamah Syar’iyah, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana mengingat Jepang nampak agak menerima tuntutan orang Islam, kendati Jepang tidak memiliki orang-orang yang ahli tentang Islam.
Zaman ini tidak berlangsung lama, sehingga tidak banyak perubahan yang terjadi, namun demikian ada dibeberapa tempat di Sumatera yang telah sempat berhasil didirikan Mahkamah Syar’iyah yang mampu bertahan cukup lama sampai zaman kemerdekaan .
Oleh karena persoalan Mahkamah Syar’iyah ini tidak dapatdilepaskan dari pada suatu masalah mengenai lenyapnya penjajahan dan diiringi dengan merdekanya Bangsa Indonesia, maka zaman kemerdekaanlah yang menjadi harapan bangsa Indonesia
III. Setelah Indonesia Merdeka
Setelah kurang lebih setahun Indonesia Merdeka, tepatnya tanggal 1 Agustus 1946, terjadilah peristiwa baru sebagai salah satu hasil revolusi kemerdekaan, dimana mulai terbentuk MAHKAMAH SYAR’IYAH KERESIDENAN Palembang yang daerah kekuasaannya hanya meliputi Kota Palembang saja, yaitu sebagai ganti dari RAAD AGAMA atas anjuran Gubernur Sumatera Utara pada waktu itu ( MR. TENGKU MUHAMMAD HASAN ) sebagai Ketuanya, sekaligus Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar. Dengan surat kawatnya, tertanggal 13 Januari 1946 telah mengakui sah berdirinya Mahkamah – Mahkamah Syar’iyah yang ada, dan di Sumatera Selatan dan waktu itu baru ada 2 (dua) yaitu Mahkamah Syar’iyah Keresidenan Palembang ( Kini Pengadilan Agama Palembang ) dan Mahkamah Syar’iyah Teluk Betung ( kini Pengadilan Agama Tanjungkarang ).
Sebagai tindak lanjut Pemerintah, Cq. Menteri Agama telah mengeluarkan Penetapan No. 58 tahun 1957 tertanggal 13 Nopember 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Sumatera, yang pada point 4 angka huruf A.4 telah membentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi yang berkedudukan di Palembang yang merupakan Pengadilan Tingkat banding dengan mewilayahi seluruh Propinsi Sumatera Selatan, yang waktu itu Lampung dan Bengkulu masih merupakan Keresidenan dan masih masuk Propinsi Sumatera Selatan.
Dengan Surat Keputusan menteri Agama Nomor : B / VI / d / 359 tertanggal 27 Januari 1958, diangkatlah untuk pertama kali K.H. ABUBAKAR BASTARY sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Palembang dan ADNAN DINAH sebagai Panitera Kepala yang sebelumya sebagai Panitera Pengadilan Negeri, sedang kantornya berlokasi di Jalan Diponegoro No. 19 Palembang dengan luasnya kurang lebih 3 x 4 meter yang menumpang pada kantor Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang.
Jadi K.H. ABUBAKAR BASTARY pertama diangkat sebagai Ketua Pengadilan di Palembang telah mempunyai dasar hukum yang mantap, dan dirasa perlu pula dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah hukumnya guna memenuhi kehendak PP.No. 45 tahun 1957 pasal 1 yaitu ditempat-tempat ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, maka mulailah dilaksanakan usaha-usaha kearah itu.
Menjelang terbentuknya Negara Republik Indonesia Kesatuan pada tahun 1950, yakni setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 dan Pemerintah Indonesia mulai berjalan lancar, dimana di Kota Palembang sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Selatan dibentuklah Pengadilan Agama Propinsi ( waktu itu belum merupakan Pengadilan tingkat banding), yang berkantor di Jalan Diponegoro No. 19 Palembang dengan Ketuanya K.H. ABUBAKAR BASTARY.
Seiring perkembangan zaman, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang perubahan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Sumatera, diantaranya adalah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Propinsi di Palembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama, sehingga Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Palembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama Palembang. Dan pada tahun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2017, maka Pengadilan Tinggi Agama Palembang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Selatan yang berkedudukan di Palembang dengan wilayah hukum seluruh Wilayah Propinsi Sumatera Selatan
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Palembang Provinsi Sumatera Selatan
- Surat Penetapan Menteri Agama RI Nomor 58 tahun 1957 tertanggal 13 Nopember 1957, tentang berdirinya Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah di Sumatera, diantaranya adalah Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah Propinsi di Palembang.
- Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang perubahan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah di Sumatera, diantaranya adalah Pengadilan Agama / Mahkamah Syari'ah Propinsi di Palembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama, sehingga Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Palembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama Palembang.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 106 yang berbunyi :
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini :
- Semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini.
- Semua peraturan pelaksanaannya yang telah ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.


Gedung Pengadilan Tinggi Agama Palembang Tahun 2008


Gedung Pengadilan Tinggi Agama Palembang Tahun 2009

Gedung Pengadilan Tinggi Agama Palembang Tahun 2012

Gedung Pengadilan Tinggi Agama Palembang Tahun 2021

